Monday, December 20, 2010

Just for my laughter, gags!

TV di negara gua tercinta sudah penuh dengan acara2 sinetron ala opera sabun yang menjual mimpi, thanks to Punjabi cs. Acara lain yang tidak kalah populer adalah gosip plus berita2 kriminal untunglah Global TV masih mendedikasikan 2 setengah jam siaran untuk Spongebob Squarepants . Meskipun demikian, memang gua masih menganggap acara TV Indo lebih bagus ketimbang TV Singapur. Nah di TV Indo itu ada salah satu acara hiburan yang menurut gua “agak” gak beres. Sesuatu sejenis acara “Spontan” di jaman dulu.

Di TV Singapur terkadang kalau jeda antar acara agak lama, ada acara singkat, judulnya “Just for Laugh, Gags!” sejenis acara “Spontan” orang Kanada. Tapi kalau diperhatikan, ada perbedaan dari joke2 yang mereka bikin, sebagai contoh:

Just for laugh, Gags: Misal si A dan B mau ngerjain si C. Si A bawa kue, dititipin ke si C, lalu disetting supaya si C nimpk kuenya ke si B, sehingga si B sengsara, si C merasa bersalah.

Spontan: Si A mau ngerjain si C. Di sini si A bawa kue lalu dengan tiada ampun ditimpuk ke muka si C.

Skenario lain,

Just for laugh, Gags: Kembali A dan B mau ngerjain si C. Si A dan C masuk ruang tertutup, lalu si A keluar. Tiba2 si B nongol entah dari mana dan keluar, membuat si C terheran2.

Spontan: A mau ngerjain C juga. Jadi si A dengan diam2 datang ke belakang si C dan langsung ngagetin si C.

Pada akhirnya memang acara ini buat hiburan. Tapi gua melihat ada satu perbedaan, yaitu, acara di bagian atas hampir tidak mungkin sang korban yang dikerjain menjadi marah, bandingkan dengan skenario si Spontan di mana kalau gua jadi korbannya, most likely gua nggak bakal kebagian masuk TV karena bagian pas mereka ngerjain gua dan bagian gua ngomel2 harus dicut.

Gua nggak tahu acara model begini itu di bawah pengaruh Punjabi cs atau tidak sehingga secara tidak langsung ada menu “tidak masuk akal”nya, sekedar informasi, cerita2 gak masuk akal seperti si A diam2 ngegeledah kamar si B, lalu ketahuan sama si B tapi malah si Anya yang marah2, itu sudah biasa. Untungnya hal2 begitu gak mencerminkan tingkah laku bangsa gua, sehingga gua masih tetap kerasan tinggal di Indo namun berdasarkan random sampling yang tidak akurat, siakp itu adalah sikap suku bangsa si Punjabi, semoga anda tahu siapa sampel yang saya ambil . Akhirnya, marilah kita menonton Just for Laugh, Gags aja, lebih bisa membuat ketawa, karena “Spontan”, juga sedikit banyak “Just for Laugh, Gags Asia” yang sempat tayang di TV Singapur, sepertinya cuma buat bikin ketawa orang yang ngerjain doang, Just for My Laughter, Gags!

Sekian.

Tuesday, December 07, 2010

A "dementor" called idleness

Bangun pagi2 bersamaan dengan nongolnya matahari di langit dan mulainya film Spongebob Squarepants di Global TV dilanjutkan dengan minum secangkir Nescafe, plus pisang goreng atau roti marie. Setelah itu senam pagi sesuai pesan mbah Surip mandi dan nganterin anak sekolah. Di perjalanan pulang mampir ke warung nasi uduk depan kantor Pak Lurah, membeli paket hemat dengan 5000 rupiah bisa dapet nasi uduk, kerupuk, tempe goreng 2 plus sambel.. Tapao.. Pulang makan, nonon TV, ada acara2 gosip pagi, menjelang siang langusng main PS, menunggu waktu jemput anak2 pulang sekolah. Setelah jemput anak pulang sekolah lalu makan siang, terus melihat2 keadaan para pegawai yang terkadang balik kandang sebentar. Menjelang sore duduk2 bengong di beranda, kadang ngobrol dengan para tetangga atau main PS lagi. Sore hari mandi, lalu acara serah terima setoran dari para pegawai.. Bantu2 benerin aset kalau ada yang rusak. Malem main gaple atau kartu ditemani singkong atau pisang goreng plus teh manis. Begitulah setiap hari berlalu seperti kata LeAnn Rimes How do I live a life like that? Life goes on...

Well, mungkin sebenernya bagian lagu yang gua coret yang bener. Cerita di atas adalah gambaran salah satu kerjaan yang pernah terlintas di benak gua beberapa waktu yang lalu, yaitu: Juragan Angkot. Inspirasi terpendam yang sudah tertanam sejak jaman kecil karena pengaruh sinetron berjudul “Angkot Haji Imron”. Gua sendiri ngga ingat ceritanya sama sekali, cuma lagunya aja. Namun kerjaan ini tampak seperti pekerjaan yang enak plus tidak perlu banyak mikir seperti pekerjaan yang gua telah salah pilih sekarang. Hidup santai, uang datang, mungkin concernnya cuma ngurus ijin yang ribet, harus nyogok sana-sini plus berurusan dengan preman seperti preman pasar Klewer yang tinggal di blok sebelah

Tapi mungkin memang orang2 yang memilih profesi jadi juragan angkot itu, memang sudah terlahir dan ditakdirkan menjadi juragan angkot dan sayangnya gua kemungkinan besar tidak terlahir untuk itu atau memang kepribadiannya sudah dirusak oleh sesuatu yang bernama ‘PhD’. Alasannya? Pekerjaan juragan angkot itu memerlukan kemampuan dan kreativitas pengisian waktu luang tingkat tinggi. Kalau hampir setiap hari bernama Minggu dan pekerjaan utama yang dilakukan tiap hari adalah menunggu datangnya setoran, bayangkan banyaknya waktu luang yang ada well, mungkin sebagian bisa diisi dengan ngasih tuition untuk tambah2 penghasilan. Saat gua mengalami keadaan “setiap hari adalah hari Minggu” memang ini tampak merupakan pekerjaan yang enak. (Mungkin quotenya perlu ditambah “Setiap hari adalah hari Minggu DI SINGAPUR”)

Hari2 gua sekarang memang masih dimulai pagi, saat film Spongebob Squarepants masih diputar di Global TV dan setelah sarapan, itulah hal kedua yang gua lakukan (nonton Global TV). Setelah itu biasanya gua mencari acara2 “mendidik” di TV, seperti di Discovery atau History Channel. Jam 10 nonton Global TV lagi, jam setengah 11 mulai berpikir acara makan siang, Masak Indomiekah, atau goreng nasikah? Berhuubng stok film masih ada, habis makan nonton film, tidur siang, nonton lagi dan hari pun mulai menjadi gelap. Saatnya mandi dan memikirkan rencana makan malam. Setelah makan malam? Nonton film lagi sampai waktunya tidur dan begitu seterusnya.

Meskipun gua nggak merindukan baca paper, karena kegiatan itu bisa dianggap sama dengan tidur siang, dan kerjaan gua selama ini sebagian besar ya duduk2 terus sambil ngeliatin acara gak jelas di layar komputer, yang mungkin bisa dianggap sama dengan nonton film, tapi ada satu perbedaan yang mungkin cukup besar, yaitu gua nggak pernah lagi memakai otak, sampai2 gua sempat mengira “Krusty Krab” = kepiting karatan. Namun memang, waktu gua nggak ada kerjaan sama sekali, saat setiap jam melihat ke jam dinding minimal 3 kali, dan terkadang bisa berjalan-jalan keliling rumah tanpa tentu arah dan berlokasi di Singapur , tampaknya tinggal beberapa langkah lagi yang kurang sebelum gua mencapai tahap “gila”. Sementara gua memang masih tertolong dengan tumpukan film yang sempat gua download. Mudah2an film ini gak habis gua santap dan yang terpenting lagi..semoga EP gua cepet keluar (Amin!), gua memang gak rindu baca paper, tapi cukup harus diakui, memeras otak untuk membuat program atau menurunkan persamaan2 GJ tampaknya tidak semanjur kehidupan juragan angkot sebagai ‘dementor’ buat gua.

Sekian.

Monday, November 29, 2010

An epic tale of Dapit Damiri

Sebagai seorang makhluk berkacamata, gua pastinya sekali2 (gak sering2 amat) berkunjung ke yang namanya optik. Dan optik langganan di kota kelahiran gua itu bernama Optik Loren, yang merupakan usaha keluarga turun temurun. Bokapnya buka optik, terus anaknya disuruh sekolah mata2 (maksudnya sekolah tentang mata, bukan dokter mata, gua lupa apaan). Tapi dalam post ini bukan si optik ini yang mau gua bahas, karena gak menarik. Si anak pemilik optik ini bernama ‘David’, yang entah kenapa dari sejak gua kecil sudah mendapat julukan,’Dapit Damiri’. Dan nampaknya, gua harus mengakui kecurigaan orang2 selama ini kalau asal mula julukan ini adalah... dari gua sendiri.

Sewaktu gua masih SD dulu, entah buku apa yang gua pakai, penerbitnya ‘most likely’ sih Balai Pustaka. Nah, di buku Bahasa Indonesia itu, kadang2 ada cerita2 bagus nan klasik yang dapat dikenang sepanjang usia, walaupun terkenang dalam alam bawah sadar, yang kemudian muncul di alam sadar menjadi ide untuk ngatain orang (dalam hal ini korbannya ya om Dapit ini). Perjumpaan gak sengaja dengan salah satu buku itu ternyata mengingatkan kembali, asal muasal Dapit Damiri ini. Siapa dia? Mukanya seperti apa? Kelakuannya gimana, preman seperti si orang Solo tetangga sebelah itu atau ga ? dst dst...

Salah satu kisahnya adalah si Dapit Damiri ini waktu menghadiri kenduri. Waktu itu si Dapit ini sama beberapa temennya pergi kendurian di kampung sono bareng temen2nya Mereka disuguhi hidangan nasi kebuli yang dimakan rame2. Jadi waktu kenduri itu mereka berkelompok, satu kelompok dapat satu porsi nasi gede plus sayur macem2 yang dimakan rame2. Sialnya, si Dapit ini ga kuat makan pedes sehingga kalau ke Ayam Penyet makannya sop buntut mulu sedangkan teman2nya yang lain adalah fans berat cairan berwarna merah yang bernama sambel. Mereka dengan enaknya menuang si sumber vitamin C itu ke dalam nasi kebuli yang lagi dimakan. Sementara mereka makan dengan lahapnya, si Dapit Damiri ini semakin lama semakin kepedesan. Pertama2 lidahnya terjulur, lalu keluar keringat dari wajah yang meluas ke seluruh badan hingga matanya pun mulai berair. Semua gejala2 umum yang disebabkan oleh kepedesan. Karena kesal dan sirik melihat orang2 lain yang makan dengan enaknya, si Dapit ini mengambil air yang langsung dituang ke dalam nasi itu, sehingga hidangan pun berubah menjadi sup. Kontan saja, orang2 yang lagi makan jadi marah. Si Dapit ini dengan tenangnya bilang “Lha, kita kan boleh nambahin apa aja. Kalian masukin sambel, ya saya masukin air”. Entah karena mereka takut apa emang orang2 yang lain ini pada goblok, mereka semua langsung pulang meninggalkan si Dapit ini sendirian. Sewaktu tuan rumah dateng dan lihat kalau makanan si Dapit ini kebanjiran dan ga bisa dimakan lagi, si Dapit langsung disuguhi nasi kebuli yang baru, untuk dimakan sendiri.

Well, kisah yang cukup bagus kan? Moral utama dari cerita ini pastinya adalah Kalau anda nggak mau makan yang pedes2, jangam minta ditraktir di ayam penyet, cukup kopi saja , eh jadi orang harus cerdik dan licik bila perlu biar sukses. Dan si tokoh Dapit Damiri ini memang digambarkan sebagai orang yang cerdik. Dalam kisah lainnya sewaktu dia menangkap perampok (detailnya ga tau karena bukunya ga ketemu, jadi ga inget ceritanya), orang ini menangkap perampok dengan cara ala “Home Alone” meskipun tidak seekstrim itu.

Itulah sekelumit kisah asal nama julukan si pemilik optik, yang kini digunakan secara legal oleh sebagian besar masyarakat di kota gua dalam keluarga gua. Ada sedikit rasa bangga karena gua berhasil membuktikan kalau gua adalah sumber utamanya (memang gua dari kecil jago ngatain orang kali ya). Tapi untunglah, gua ngga pernah jadi korban kelicikan si David yang asli ini atau gua ga tau kalau sudah jadi korban, anyhow, dia kan C**a . Yang pasti, nampaknya gua masih akan menjadi pelanggan setia optik itu lagi dan lagi..

Sekian.

Sunday, September 26, 2010

The tale of boulder, gravel, sand, and water

Ada sebuah cerita klasik tentang seorang bijak yang memberikan ceramah dengan suatu demonstrasi. Singkatnya, dia mengambil ember, mengisi dengan batu besar sampai penuh, lalu dia bertanya kepada para hadirin “Apakah ini sudah penuh?” Lalu si hadirin pun menjawab “Sudah”, kemudian dia mengambil kerikil dan mulai memasukkan ke dalam ember lagi, mengajukan pertanyaan yang sama, dan para hadirin kembali menjawab “Sudah”. Eh, ternyata si orang ini mengambil pasir lagi dan mulai mengisi ember itu. Lalu dia bertanya lagi hal yang sama dan mendapat jawaban yang sama juga. Terakhir dia memasukkan air ke dalam ember itu. Kali ini, ember itu barulah benar-benar penuh.

Dari lebih dari lima forwardan email yang pernah gua terima dengan isi yang sama, nampaknya batu besar adalah hal yang paling penting bagi kita, kerikil adalah hal yang kurang penting, pasir itu hal yang nggak gitu penting, dan air melambangkan hal yang gak penting, buat hiburan doang, dan cenderung (menurut bahasa kaum PhD sini) “GJ”. Jadi mungkin maksud utamanya adalah, sesibuk apapun anda, selalu ada tempat untuk ‘ke-GJ-an” kita arus bisa membuat prioritas, karena jika kita salah urutan, misal kita memasukkan pasir dulu, tidak akan ada tempat lagi untuk kerikil atau batu besar. Namun masalahnya, pasir jauh lebih mudah dimasukkan dibanding batu besar yang berat2 itu. Mungkin juga, karena sudah sakit punggung, kita mulai mengisi kerikil sebelum batu besar itu penuh mengisi ember. Mungkin juga itulah yang terjadi pada gua, pada batu besar yang namanya **D yang dilempar oleh si manusia I sehingga batunya bau kuah curry

Menrut manusia yang dimaksud, gua pernah memiliki semangat kerja yang tinggi, untuk 2½ tahun pertama dan setelah itu hasil kerjaan gua semakin kacau. Benarkah? Entahlah. Gua sempat mencari tahu alasan2 kenapa orang itu bisa bilang begitu. Karena pindah rumah? Karena kedatangan makhluk Solo tidak bertanggung jawab? Karena orang rumah pada terpengaruh pindah haluan dari peneliti? Setelah berkontemplasi selama perjalanan di atas bis nomor 48 jurusan Grogol - Depok East Coast - Buona Vista, gua mungkin mendapat jawabannya. Karena batu2 besar yang sudah dilempar dan dimasukkan ke dalam ember, dikeluarkan lagi dan dibuang oleh makhluk I ini dengan alasan batunya kurang besar sehingga embernya nggak akan penuh.

Memang gua bukan orang yang ambisius, gak terlalu peduli sama yang namanya bersaing. Kalau makhluk2 teman gua yang berprofesi sama bekerja siang malam hingga Sabtu dan Minggu, gua salut, namun untuk meniru? Nggak bisa, karena kerjaan gua nggak sebanyak itu. Jangan2 datang pun gua bengong di sono. Lalu di sinilah letak perbedaan utamanya, dulu gua rajin mencari sesuatu yang bisa dikerjakan, mencari batu2 itu untuk dimasukkan ke dalam ember. Sesuatu yang sering gua lakukan tanpa setahu manusia I itu dan biasanya, saat manusia I itu melihat ke dalam ember gua, dia akan mulai memilah dan mengambil batu2 besar yang sudah gua masukkan ke sana lalu menyuruh mengganti dengan batu punya dia sendiri yang sepertinya tidak lebih besar daripada batu yang sudah dibuang bau curry lagi

Namun jangan lupa, di ember itu tidak ada batu besar saja, ada kerikil, pasir, dan air dan si manusia I ini tidak punya kuasa untuk mengisi atau memindahkan kerikil2 ini. Satu hal lagi, sudah jelas kalau gua lebih senang memasukkan kerikil, pasir dan air ke dalam ember. Mereka gak bikin sakit pinggang. Betul? Namun gua masih berpikir kalau jumlah kerikil, pasir, dan air yang gua masukkan tetap sama, paling tidak sampai bulan lalu.

Dulu kesibukan GJ gua berkisar pada nonton film Jepang yang disalurkan oleh seorang anak NTU murah hati bernama ‘maggot’. Sekarang, karena orangnya udah lulus, gua beralih kecanduan download film2 Barat. Dulu ada game flight simulator yang rajin gua mainin setelah makan malam. Sekarang pun gamena masih ada namun gak pernah gua mainin lagi, berganti menjadi mencari gosip2 GJ di facebook. Kadar pasir dan air ini mungkin bertambah karena gua berkenalan dengan beberapa manusia GJ dari gedung sebelah (nama disamarkan). Sehingga, gua merasa kalau jumlah batu besar yang masuklah yang gua kurangi. Buat apa dimasukin, toh nanti dikeluarin lagi, betul?

Bulan ini, kerikil dan pasir itu mulai bertambah. Gua mulai mencoba menjadi penerjemah dari pidato2 singkat orang penting yang dipost di internet yang mulai gua senangi. Ditambah lagi, berkat seorang teman, gua mulai nyoba ngajar anak SMA di salah satu ujung kota Singapur yang lain, yang berjarak 1½ jam dari rumah atau hampir 2 jam dari sekolah untuk pergi, dan 2 jam untuk pulang. Dan meskipun capek, sebenarnya gua merasa jauh lebih senang, ada juga perasaan kalau gua lebih berarti, menjadi dihargai dan dihormati juga, yang sepertinya hampir gak pernah gua rasakan di sekolah. Kata2 ‘terima kasih’ dan kesediaan orang lain berhujan2an walau lagi sakit untuk membukakan pintu pagar buat gua, nampak sangat berarti.

Well, kalau begitu, bagaimanakah nasib batu2 besar yang berbau curry itu? Well, akan gua masukkan, suatu saat... nanti....

Sekian. 

Friday, September 17, 2010

The live jacket

Perasaan puas itu masih ada, perasaan puas setelah sukses melakukan penyerangan kepada oknum yang paling dipuja oleh para tetangga gua, dan gua sama sekali ngga nyangka kalau orang yang bersangkutan bakal tahu. Sesuatu yang menambah kepuasan batin. Oke, jadi di blog baru ini gua mau mulai dengan cerita2 yang ringan saja, walaupun pembullyan, khususnya terhadap penghuni rumah sebelahitu, masih mungkin bisa ditemukan.

Kali ini gua mau menulis tentang sebuah jaket. ‘live jacket’, bukan ‘life jacket’ untuk menyelamatkan diri, karena gua nggak punya. Ngga dijual di mana2 dan kalau nyuri dari pesawat, hukumannya 2 tahun penjara dan atau denda 200 juta. ‘Live jacket’, jaket yang menemani gua dalam kehidupan gua. Ceritanya dimulai kala ua mau pulang kampung dari Bogor sewaktu SMA.

Saat itu sudah menjelang libur dan gua berencana untuk mudik. Tante gua yang baik juga sudah datang menjemput. Karena pagi harinya ada ujian, jadi gua ikut ujian dulu sampai kira2 jam 9 pagi, lalu langsung berangkat dari sekolah, berhubung jarak sekolah ke terminal bis lebih dekat dibanding kalau harus balik ke rumah lagi. Sayangnya, entah apa yang masuk ke perut gua sehari sebelumnya, sewaktu ujian di kulit gua mulai muncul bintik2 merah. Saat tante gua menjemput di depan sekolah, gua sudah menjadi seperti suku Indian di Amerika sono. Tapi gua nggak merasa nggak enak badan atau pusing atau semacamnya, jadi tante gua berkeras. Tetap harus pulang, sampai di rumah ada keluarga yang bisa merawat. Ya sudahlah, akhirnya tante gua berlari ke pasar di dekat sekolah, membeli sebuah jaket dan topi untuk menutupi warna kulit gua yang bisa menarik perhatian para dukun untuk diambil organ tubuhnya dan dijadiin jimat.

Perjalanan pulang pun dimulai. Rute pertama sebelum menyeberang ke pulau Sumatera adalah jalan tol yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam kalau bisnya ngak keluar masuk tol mencari penumpang dan menafkahi para pedagang yang berseliweran di terminal. Untungnya, bis tidak harus melewati jalanan tanah yang tidak mungkin dapat dilewati sewaktu hujan karena lumpur sedalam lutut orang dewasa yang mungkin bisa anda jumpai kalau hendak mengunjungi Solo. Kemudian, gua harus menyeberang ke Sumatera sana dengan kapal cepat, yang Cuma memerlukan waktu 1 jam, jauh lebih cepat dibanding kapal feri gede yang perlu 2 jam di jalan, ditambah setengah jam ngantri pelabuhan, dan jika beruntung 1 jam lagi isi penumpang dan setengah jam ngeluarin penumpang lagi. Toh gua masih merasa beruntung karena ketika anda mengunjungi Solo, anda harus bertaruh nyawa menyeberang sungai Bengawan Solo yang ganas dan penuh dengan batuan2 cadas dengan menggunakan perahu karet. Di sini anda benar2 harus menggunakan ‘life jacket’ yang asli. Well, serasa mau berarung jeram aja ya.

Setelah sampai di Sumatera, gua melanjutkan lagi perjalanan panjang mudik ini, masih dengan kulit memerah dan kini ditambah kepala mulai pusing dan suhu badan mulai naik. Entah kenapa lagi, mungkin kalau gua mudik ke arah Solo sana, badan gua sudah nggak bisa bergerak lagi. Untungnya tidak. Gua masih melalui jalan mulus beraspal, meskipun bukan jalan tol lagi dan sampai di rumah dengan selamat sore harinya dalam keadaan yang cukup mengenaskan, kulit seperti terbakar ditambah pusing dan mual. Gua sendiri nggak berani melihat warna kulit gua sewaktu gua membuka jaket yang sudah melindngi gua dari kesan ‘alien’ di sepanjang perjalanan. Sesampai di rumah, gua langsung ke dokter dan keesokan harinya, kondisi gua sudah mulai membaik, sejak bala bantuan berwujud obat antialergi masuk ke badan gua. Entah alergi apa gua waktu itu. Mungkin tanpa sengaja waktu itu di Bogor gua menjumpai prata atau kari India yang langsung gua makan tanpa menyadari akibat buruknya.

Alergigua sembuh dan gua bisa liburan di rumah dengan tenang, berkat jaket itu gua bisa pulang dengan selamat juga. Sekarang, jaket itu masih tersimpan rapi di lemari gua dan mungkin salah satu pakaian tertua gua yang masih gua simpan di sini. Awal tahun ini, reslitingnya sempat putus dan gua ngga tahu gimana cara memperbaiki resliting jaket yang rusak di sini dan gua juga takut dengan ongkosnya sehingga gua harus menunggu kesempatan mudik lagi untuk benerin reslitingnya. Kini, resliting itu sudah bagus lagi dan jaket itu akan menemani gua lagi.. dalam kehidupan sehari2, dalam susah dan senang, truly ‘live jacket’.

Sekian.

Monday, September 06, 2010

My new blog

Blog ini merupakan kelanjutan dari http://ayudi.spaces.live.com. Seperti yang sudah gua ceritakan kalau dulu gua membuat blog dengan tujuan utama untuk menceritakan kehidupan seorang dosen yang sudah menjadi musuh bebuyutan gua sejak pertama kali gua melihat mukanya. Aura nyolot yang terpancar dari wajahnya memang sudah terasa sejak pertama kali gua melihat muka dia. Kini, tujuan itu sudah tercapai dan memang gua sempat berpikir untuk pensiun dari dunia blogging. Namun setelah mendapat pencerahan dari salah seorang mantan muridnya, maka gua berpikir kalau lebih baik gua membuat blog baru saja. Toh gua sudah mulai suka menghakimi orang melalui blog.

Akhirnya, proses pembuatan blog baru pun dimulai. Sebenarnya gua consider 3 blogging websites. Pertama blogspot, kedua wordpress, dan ketiga multiply, dengan nama account yang sama: ‘ayudi’. Sayangnya, di ketiga tempat itu nama account itu sudah ada yang pakai semua. Inilah salah satu kerugian punya nama pasaran. Akhirnya, gua mencoba a.yudi, a_yudi, dan a-yudi. Dua username yang gua sebut pertama tidak boleh dipakai sama wordpress, katanya cuma boleh pakai huruf sama angka doang.. Sigh.. Waktu gua nyoba sign multiply, lho, kok isinya lagu2 gak jelas semua, bikin males. Akhirnya, gua mencoba blogspot, eh ternyata bisa. Kebetulan juga gua sudah punya blog di blogspot yang menceritakan kelamnya kehidupan seorang anak PhD, walaupun housemate gua sempat bilang kalau kapasitasnya wordpress 3 kali lebih besar, tapi ya sudahlah, menghujat orang kan gak perlu memori dengan kapasitas besar. Sang preman Solo pasti sadar betul akan hal itu.

Yang juga menjadi alasan gua membuat blog baru mungkin juga blog hotmail semakin lama semakin parah, atau mungkin guanya yang semakin parah. Sejak beberapa bulan lalu, gua ngak bisa lagi melihat statistics di blog gua, dan beberapa hari yang lalu gua baru sadar kalau gua nggak isa upload foto langsung di blog lagi. Akhirnya, daripada repot mencari cara buat upload gambar atau apapun itu, jiwa pemalas gua bilang lebih baik buat blog yang baru aja.

Akhirnya, gua mau mengucapkan selamat membaca dan semoga berkenan, termasuk bagi korban2 yang gua bully di blog ini, seperti sang preman Solo atau mantan artis cilik yang kini berbagi meja dengan gua di rumah. Apabila ada kata2 yang tidak berkenan, kini dan seterusnya, harap dimaafkan ya, mumpung masih suasana lebaran nih.

Sekian