Monday, November 29, 2010

An epic tale of Dapit Damiri

Sebagai seorang makhluk berkacamata, gua pastinya sekali2 (gak sering2 amat) berkunjung ke yang namanya optik. Dan optik langganan di kota kelahiran gua itu bernama Optik Loren, yang merupakan usaha keluarga turun temurun. Bokapnya buka optik, terus anaknya disuruh sekolah mata2 (maksudnya sekolah tentang mata, bukan dokter mata, gua lupa apaan). Tapi dalam post ini bukan si optik ini yang mau gua bahas, karena gak menarik. Si anak pemilik optik ini bernama ‘David’, yang entah kenapa dari sejak gua kecil sudah mendapat julukan,’Dapit Damiri’. Dan nampaknya, gua harus mengakui kecurigaan orang2 selama ini kalau asal mula julukan ini adalah... dari gua sendiri.

Sewaktu gua masih SD dulu, entah buku apa yang gua pakai, penerbitnya ‘most likely’ sih Balai Pustaka. Nah, di buku Bahasa Indonesia itu, kadang2 ada cerita2 bagus nan klasik yang dapat dikenang sepanjang usia, walaupun terkenang dalam alam bawah sadar, yang kemudian muncul di alam sadar menjadi ide untuk ngatain orang (dalam hal ini korbannya ya om Dapit ini). Perjumpaan gak sengaja dengan salah satu buku itu ternyata mengingatkan kembali, asal muasal Dapit Damiri ini. Siapa dia? Mukanya seperti apa? Kelakuannya gimana, preman seperti si orang Solo tetangga sebelah itu atau ga ? dst dst...

Salah satu kisahnya adalah si Dapit Damiri ini waktu menghadiri kenduri. Waktu itu si Dapit ini sama beberapa temennya pergi kendurian di kampung sono bareng temen2nya Mereka disuguhi hidangan nasi kebuli yang dimakan rame2. Jadi waktu kenduri itu mereka berkelompok, satu kelompok dapat satu porsi nasi gede plus sayur macem2 yang dimakan rame2. Sialnya, si Dapit ini ga kuat makan pedes sehingga kalau ke Ayam Penyet makannya sop buntut mulu sedangkan teman2nya yang lain adalah fans berat cairan berwarna merah yang bernama sambel. Mereka dengan enaknya menuang si sumber vitamin C itu ke dalam nasi kebuli yang lagi dimakan. Sementara mereka makan dengan lahapnya, si Dapit Damiri ini semakin lama semakin kepedesan. Pertama2 lidahnya terjulur, lalu keluar keringat dari wajah yang meluas ke seluruh badan hingga matanya pun mulai berair. Semua gejala2 umum yang disebabkan oleh kepedesan. Karena kesal dan sirik melihat orang2 lain yang makan dengan enaknya, si Dapit ini mengambil air yang langsung dituang ke dalam nasi itu, sehingga hidangan pun berubah menjadi sup. Kontan saja, orang2 yang lagi makan jadi marah. Si Dapit ini dengan tenangnya bilang “Lha, kita kan boleh nambahin apa aja. Kalian masukin sambel, ya saya masukin air”. Entah karena mereka takut apa emang orang2 yang lain ini pada goblok, mereka semua langsung pulang meninggalkan si Dapit ini sendirian. Sewaktu tuan rumah dateng dan lihat kalau makanan si Dapit ini kebanjiran dan ga bisa dimakan lagi, si Dapit langsung disuguhi nasi kebuli yang baru, untuk dimakan sendiri.

Well, kisah yang cukup bagus kan? Moral utama dari cerita ini pastinya adalah Kalau anda nggak mau makan yang pedes2, jangam minta ditraktir di ayam penyet, cukup kopi saja , eh jadi orang harus cerdik dan licik bila perlu biar sukses. Dan si tokoh Dapit Damiri ini memang digambarkan sebagai orang yang cerdik. Dalam kisah lainnya sewaktu dia menangkap perampok (detailnya ga tau karena bukunya ga ketemu, jadi ga inget ceritanya), orang ini menangkap perampok dengan cara ala “Home Alone” meskipun tidak seekstrim itu.

Itulah sekelumit kisah asal nama julukan si pemilik optik, yang kini digunakan secara legal oleh sebagian besar masyarakat di kota gua dalam keluarga gua. Ada sedikit rasa bangga karena gua berhasil membuktikan kalau gua adalah sumber utamanya (memang gua dari kecil jago ngatain orang kali ya). Tapi untunglah, gua ngga pernah jadi korban kelicikan si David yang asli ini atau gua ga tau kalau sudah jadi korban, anyhow, dia kan C**a . Yang pasti, nampaknya gua masih akan menjadi pelanggan setia optik itu lagi dan lagi..

Sekian.