Friday, September 17, 2010

The live jacket

Perasaan puas itu masih ada, perasaan puas setelah sukses melakukan penyerangan kepada oknum yang paling dipuja oleh para tetangga gua, dan gua sama sekali ngga nyangka kalau orang yang bersangkutan bakal tahu. Sesuatu yang menambah kepuasan batin. Oke, jadi di blog baru ini gua mau mulai dengan cerita2 yang ringan saja, walaupun pembullyan, khususnya terhadap penghuni rumah sebelahitu, masih mungkin bisa ditemukan.

Kali ini gua mau menulis tentang sebuah jaket. ‘live jacket’, bukan ‘life jacket’ untuk menyelamatkan diri, karena gua nggak punya. Ngga dijual di mana2 dan kalau nyuri dari pesawat, hukumannya 2 tahun penjara dan atau denda 200 juta. ‘Live jacket’, jaket yang menemani gua dalam kehidupan gua. Ceritanya dimulai kala ua mau pulang kampung dari Bogor sewaktu SMA.

Saat itu sudah menjelang libur dan gua berencana untuk mudik. Tante gua yang baik juga sudah datang menjemput. Karena pagi harinya ada ujian, jadi gua ikut ujian dulu sampai kira2 jam 9 pagi, lalu langsung berangkat dari sekolah, berhubung jarak sekolah ke terminal bis lebih dekat dibanding kalau harus balik ke rumah lagi. Sayangnya, entah apa yang masuk ke perut gua sehari sebelumnya, sewaktu ujian di kulit gua mulai muncul bintik2 merah. Saat tante gua menjemput di depan sekolah, gua sudah menjadi seperti suku Indian di Amerika sono. Tapi gua nggak merasa nggak enak badan atau pusing atau semacamnya, jadi tante gua berkeras. Tetap harus pulang, sampai di rumah ada keluarga yang bisa merawat. Ya sudahlah, akhirnya tante gua berlari ke pasar di dekat sekolah, membeli sebuah jaket dan topi untuk menutupi warna kulit gua yang bisa menarik perhatian para dukun untuk diambil organ tubuhnya dan dijadiin jimat.

Perjalanan pulang pun dimulai. Rute pertama sebelum menyeberang ke pulau Sumatera adalah jalan tol yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam kalau bisnya ngak keluar masuk tol mencari penumpang dan menafkahi para pedagang yang berseliweran di terminal. Untungnya, bis tidak harus melewati jalanan tanah yang tidak mungkin dapat dilewati sewaktu hujan karena lumpur sedalam lutut orang dewasa yang mungkin bisa anda jumpai kalau hendak mengunjungi Solo. Kemudian, gua harus menyeberang ke Sumatera sana dengan kapal cepat, yang Cuma memerlukan waktu 1 jam, jauh lebih cepat dibanding kapal feri gede yang perlu 2 jam di jalan, ditambah setengah jam ngantri pelabuhan, dan jika beruntung 1 jam lagi isi penumpang dan setengah jam ngeluarin penumpang lagi. Toh gua masih merasa beruntung karena ketika anda mengunjungi Solo, anda harus bertaruh nyawa menyeberang sungai Bengawan Solo yang ganas dan penuh dengan batuan2 cadas dengan menggunakan perahu karet. Di sini anda benar2 harus menggunakan ‘life jacket’ yang asli. Well, serasa mau berarung jeram aja ya.

Setelah sampai di Sumatera, gua melanjutkan lagi perjalanan panjang mudik ini, masih dengan kulit memerah dan kini ditambah kepala mulai pusing dan suhu badan mulai naik. Entah kenapa lagi, mungkin kalau gua mudik ke arah Solo sana, badan gua sudah nggak bisa bergerak lagi. Untungnya tidak. Gua masih melalui jalan mulus beraspal, meskipun bukan jalan tol lagi dan sampai di rumah dengan selamat sore harinya dalam keadaan yang cukup mengenaskan, kulit seperti terbakar ditambah pusing dan mual. Gua sendiri nggak berani melihat warna kulit gua sewaktu gua membuka jaket yang sudah melindngi gua dari kesan ‘alien’ di sepanjang perjalanan. Sesampai di rumah, gua langsung ke dokter dan keesokan harinya, kondisi gua sudah mulai membaik, sejak bala bantuan berwujud obat antialergi masuk ke badan gua. Entah alergi apa gua waktu itu. Mungkin tanpa sengaja waktu itu di Bogor gua menjumpai prata atau kari India yang langsung gua makan tanpa menyadari akibat buruknya.

Alergigua sembuh dan gua bisa liburan di rumah dengan tenang, berkat jaket itu gua bisa pulang dengan selamat juga. Sekarang, jaket itu masih tersimpan rapi di lemari gua dan mungkin salah satu pakaian tertua gua yang masih gua simpan di sini. Awal tahun ini, reslitingnya sempat putus dan gua ngga tahu gimana cara memperbaiki resliting jaket yang rusak di sini dan gua juga takut dengan ongkosnya sehingga gua harus menunggu kesempatan mudik lagi untuk benerin reslitingnya. Kini, resliting itu sudah bagus lagi dan jaket itu akan menemani gua lagi.. dalam kehidupan sehari2, dalam susah dan senang, truly ‘live jacket’.

Sekian.

No comments:

Post a Comment