Sunday, September 26, 2010

The tale of boulder, gravel, sand, and water

Ada sebuah cerita klasik tentang seorang bijak yang memberikan ceramah dengan suatu demonstrasi. Singkatnya, dia mengambil ember, mengisi dengan batu besar sampai penuh, lalu dia bertanya kepada para hadirin “Apakah ini sudah penuh?” Lalu si hadirin pun menjawab “Sudah”, kemudian dia mengambil kerikil dan mulai memasukkan ke dalam ember lagi, mengajukan pertanyaan yang sama, dan para hadirin kembali menjawab “Sudah”. Eh, ternyata si orang ini mengambil pasir lagi dan mulai mengisi ember itu. Lalu dia bertanya lagi hal yang sama dan mendapat jawaban yang sama juga. Terakhir dia memasukkan air ke dalam ember itu. Kali ini, ember itu barulah benar-benar penuh.

Dari lebih dari lima forwardan email yang pernah gua terima dengan isi yang sama, nampaknya batu besar adalah hal yang paling penting bagi kita, kerikil adalah hal yang kurang penting, pasir itu hal yang nggak gitu penting, dan air melambangkan hal yang gak penting, buat hiburan doang, dan cenderung (menurut bahasa kaum PhD sini) “GJ”. Jadi mungkin maksud utamanya adalah, sesibuk apapun anda, selalu ada tempat untuk ‘ke-GJ-an” kita arus bisa membuat prioritas, karena jika kita salah urutan, misal kita memasukkan pasir dulu, tidak akan ada tempat lagi untuk kerikil atau batu besar. Namun masalahnya, pasir jauh lebih mudah dimasukkan dibanding batu besar yang berat2 itu. Mungkin juga, karena sudah sakit punggung, kita mulai mengisi kerikil sebelum batu besar itu penuh mengisi ember. Mungkin juga itulah yang terjadi pada gua, pada batu besar yang namanya **D yang dilempar oleh si manusia I sehingga batunya bau kuah curry

Menrut manusia yang dimaksud, gua pernah memiliki semangat kerja yang tinggi, untuk 2½ tahun pertama dan setelah itu hasil kerjaan gua semakin kacau. Benarkah? Entahlah. Gua sempat mencari tahu alasan2 kenapa orang itu bisa bilang begitu. Karena pindah rumah? Karena kedatangan makhluk Solo tidak bertanggung jawab? Karena orang rumah pada terpengaruh pindah haluan dari peneliti? Setelah berkontemplasi selama perjalanan di atas bis nomor 48 jurusan Grogol - Depok East Coast - Buona Vista, gua mungkin mendapat jawabannya. Karena batu2 besar yang sudah dilempar dan dimasukkan ke dalam ember, dikeluarkan lagi dan dibuang oleh makhluk I ini dengan alasan batunya kurang besar sehingga embernya nggak akan penuh.

Memang gua bukan orang yang ambisius, gak terlalu peduli sama yang namanya bersaing. Kalau makhluk2 teman gua yang berprofesi sama bekerja siang malam hingga Sabtu dan Minggu, gua salut, namun untuk meniru? Nggak bisa, karena kerjaan gua nggak sebanyak itu. Jangan2 datang pun gua bengong di sono. Lalu di sinilah letak perbedaan utamanya, dulu gua rajin mencari sesuatu yang bisa dikerjakan, mencari batu2 itu untuk dimasukkan ke dalam ember. Sesuatu yang sering gua lakukan tanpa setahu manusia I itu dan biasanya, saat manusia I itu melihat ke dalam ember gua, dia akan mulai memilah dan mengambil batu2 besar yang sudah gua masukkan ke sana lalu menyuruh mengganti dengan batu punya dia sendiri yang sepertinya tidak lebih besar daripada batu yang sudah dibuang bau curry lagi

Namun jangan lupa, di ember itu tidak ada batu besar saja, ada kerikil, pasir, dan air dan si manusia I ini tidak punya kuasa untuk mengisi atau memindahkan kerikil2 ini. Satu hal lagi, sudah jelas kalau gua lebih senang memasukkan kerikil, pasir dan air ke dalam ember. Mereka gak bikin sakit pinggang. Betul? Namun gua masih berpikir kalau jumlah kerikil, pasir, dan air yang gua masukkan tetap sama, paling tidak sampai bulan lalu.

Dulu kesibukan GJ gua berkisar pada nonton film Jepang yang disalurkan oleh seorang anak NTU murah hati bernama ‘maggot’. Sekarang, karena orangnya udah lulus, gua beralih kecanduan download film2 Barat. Dulu ada game flight simulator yang rajin gua mainin setelah makan malam. Sekarang pun gamena masih ada namun gak pernah gua mainin lagi, berganti menjadi mencari gosip2 GJ di facebook. Kadar pasir dan air ini mungkin bertambah karena gua berkenalan dengan beberapa manusia GJ dari gedung sebelah (nama disamarkan). Sehingga, gua merasa kalau jumlah batu besar yang masuklah yang gua kurangi. Buat apa dimasukin, toh nanti dikeluarin lagi, betul?

Bulan ini, kerikil dan pasir itu mulai bertambah. Gua mulai mencoba menjadi penerjemah dari pidato2 singkat orang penting yang dipost di internet yang mulai gua senangi. Ditambah lagi, berkat seorang teman, gua mulai nyoba ngajar anak SMA di salah satu ujung kota Singapur yang lain, yang berjarak 1½ jam dari rumah atau hampir 2 jam dari sekolah untuk pergi, dan 2 jam untuk pulang. Dan meskipun capek, sebenarnya gua merasa jauh lebih senang, ada juga perasaan kalau gua lebih berarti, menjadi dihargai dan dihormati juga, yang sepertinya hampir gak pernah gua rasakan di sekolah. Kata2 ‘terima kasih’ dan kesediaan orang lain berhujan2an walau lagi sakit untuk membukakan pintu pagar buat gua, nampak sangat berarti.

Well, kalau begitu, bagaimanakah nasib batu2 besar yang berbau curry itu? Well, akan gua masukkan, suatu saat... nanti....

Sekian. 

No comments:

Post a Comment